Label

Jumat, 14 September 2012

I'm Not Alone #episode 6#


#Yui#

“Apa ini akhir dari hidupku? Mati di tangan temanku sendiri?” pikirku dalam hati dan Rea pun mendorongku hingga membentur tembok dan mengarahkan pisaunya ke perutku. Aku menutup mata, sreeettt…ternyata rea tak mengarahkan pisau itu ke perutku namun ke tembok yang berada disebelah kiri perutku. Rea melepaskan tangan kirinya dari bahuku dan melepaskan pisau yang berada di tangan kanannya. Ia berbalik menghadap ayah dan anak buahnya.

“Aku tidak akan melakukan hal itu. Karna materi aku kehilangan sosok orang tua dan hanya karena dirimu, aku tidak mau kehilangan sosok teman.”katanya membuatku terharu, kali ini ia benar-benar membuka hatinya untuk kami, aku sangat senang mendengarnya. “Ciihh, benar-benar menggelikan! Baik, kalau itu pilihanmu, kalian tidak akan bisa keluar hidup-hidup. Bunuh mereka.” perintahnya pada orang menyeramkan itu. “Dengan senang hati.” balasnya dengan senyuman setan.

“Riu kau jaga Akemi dan bawa dia keluar dari sini. Dan kau Miuji, bawa Yui keluar disini dengan selamat.” Katanya tiba-tiba. “Lalu bagaimana denganmu?” Tanya Riu dengan ekspresi bingung. “Aku bisa mengatasinya sendiri. Tak ada waktu berdiskusi, lakukan perintahku!” perintahnya dengan nada sedikit keras. Riu hendak menolak namun Miuji memegang bahu Riu hendak menahan, “itu jalan terbaik”kata Miuji pelan. aku hanya memandang khawatir “Berjanjilah kau akan keluar dengan selamat.” kataku pada Rea dan diapun hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum padaku.

“Kalian pikir kalian bisa keluar dari sini.” kata pria menyeramkan itu, Riu mengendong Akemi dan mengikat tangan dan kaki Akemi dengan robekan bajunya agar mudah untuk melawan musuh sedangkan Miuji datang kearahku dan memegang tanganku. ”Jangan jauh-jauh dariku.” katanya tanpa ragu, akupun hanya menganggukkan kepalaku. Orang-orang besar itu maupun orang menyeramkan itu datang menyerang kami. Dengan lincah Miuji memukul orang besar yang menghalangi kami, aku berusaha mencari suatu barang yang bisa dijadikan senjata namun aku tak menemukannya. Tak ku sadari pria yang lainnya hendak memukulku namun dapat dihadang oleh Miuji dengan menendangnya kuat, iapun menarik tanganku mengajak pergi. Bugghh…seorang pria menendang punggung Miuji dari belakang sehingga membuat Miuji jatuh ke lantai, aku terkaget dan pria itu juga hendang memukulku, namun aku dapat menghindar dari pukulannya hingga membuatku terjatuh kelantai. Saat pria itu hendak menginjakku, Rea datang dan menghalangi pria itu “Miuji, cepat bawa Yiu pergi dari sini sekarang.” katanya cepat. Miujipun menarik tanganku dengan manahan rasa sakit dipunggungnya dan untungnya kami dapat meloloskan diri dari ruangan itu, dengan sekuat tenaga kami berlari dari kejaran 3 pria besar itu.


#Riu#

Memang cukup sulit bergerak dengan mengendong Akemi, namun aku akan berusaha agar Akemi tidak terluka. Dengan mengeluarkan segenap tenagaku, aku berlari dan menghindari pria bertubuh besar itu. Namun seseorang pria dari arah kananku dapat memegang lenganku dan mendorong tubuhku kebelakang, dengan keras aku berusaha agar Akemi tidak tergencet. “Sial! Ini tidak adil, 4 petarung amatir + 1 orang sekarat melawan 6 pria  cukup berpengalaman bertarung + 1 orang tua menyebalkan (ayah Rea dan Yui). Tentu saja mereka menang.” kataku dalam hati, “Perlu strategi yang bagus untuk mengecoh mereka.”lanjutku.

“Kau takut?” kata pria besar itu, “Hanya sedikit berat.” kataku cengengesan sambil menunjuk Akemi. “Kalau begitu buang saja dia.” katanya tak berperasaan. “oooo….tidak bisa” kataku dengan sedikit melawak. “Kalau begitu, kau dan dia harus siap mati.” katanya terakhir dan ia pun hendak menyerang namun dengan lumayan cepat aku menghindar kesamping “eiitss, itu juga tidak bisa om.” kataku lagi dengan sok cool. “om? Sejak kapan aku menikah dengan bibimu!” katanya marah dan hendak memukulku, namun aku tangkis dan menendangnya dengan keras. “Aku juga ga sudi punya om kayak…om?!” kataku meledek, pria itu bangkit namun sekarang ia tak sendiri, ia bersama temannya. “ga gentle amat sih, om. Aku kan sendirian masak om berdua?!” kataku meledek, mereka tak menghiraukan ledekanku dan menghajarku berbarengan, aku berhasil menghindari satu orang, namun tidak untuk yang satunya lagi, ia berhasil memukul mukaku dan membuatku tersungkur ketembok, dengan posisi tubuh depan yang tergenjet tembok.

2 pria itu hendak menghabisiku, namun Rea datang diwaktu yang tepat, ia memakai kursi roda Akemi untuk memukul salah satu dari pria itu dan membuat pria itu terjatuh ke lantai. Sementara pria yang satunya lagi ditendang dengan gaya silat hingga kepalanya membentur tembok dan pingsan, *badan gede kok kalah lawan cewek?*. “Cepat lari.” katanya singkat dan membantuku bangun, aku melihat sekitar dan tak melihat Miuji dan Yui, aku rasa mereka sudah berhasil keluar duluan. Rea menarikku keluar kearah pintu namun dihadang ole pria menyebalkan yang menculik Yui.

“Kalian tidak bisa pergi dengan semudah itu.”katanya dengan senyum meremehkan. Rea melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, “Saat ada kesempatan cepat lari dari sini.” katanya lagi. “lalu kau?” tanyaku bingung. aku akan menyusul, “tapi..”kataku, belum selesai aku bicara, ia menyelanya “Ikuti saja perintahku. Kau harus menyelamatkan Akemi dahulu.” katanya dan akupun tak bisa membantahnya lagi dan mengiyakan dengan terpaksa.

“Sudah selesai diskusinya?” kata pria itu menjengkelkan, Rea dengan cepat memukul pria itu namun dapat ditangkisnya, dan mendorong Rea jatuh kelantai, sementara itu pria menyebalkan itu datang kearahku, tak ku sangka refleks Rea sangat cepat, ia  mengayunkan kakinya, hendak menyandung kaki pria menyebalkan itu dan berhasil, pria itu terjatuh sebelum berhasil menyerangku. Aku berlari kearah pintu namun orang tua itu menghalangiku, ia hendak menonjok mukaku, namun tentu saja pria muda sepertiku lebih kuat dari pada orang tua seperti dia.  Aku berhasil memegang tangannya dan memelintir tangannya, namun ia tak mau menyerah ia gunakan tangan yang satu lagi untuk memukulku dan saat itu Rea datang dengan pria menyebalkan yang tak jauh di belakangnya. Rea menarik orang tua itu dan mengarahkannya ke pria menyebalkan itu, sehinnga pria menyebalkan dan orang tua itu terjatuh. Saat itu pula Rea mendorongku ke luar pintu. “Pergilah! jangan kembali” katanya sambil menutup pintu. Aku terkejut, aku berusaha membuka pintunya namun terkunci, aku mengedor-ngedor pintu itu namun tak disauti, tak jauh dari arah kanan aku melihat seseorang mendekatiku, aku tak punya pilihan lain selain pergi.

Aku berlari sekuat tenaga sambil memegang Akemi yang sedang kugendong, saat aku hendak belok ke kiri seseorang menarikku ke samping tembok, saat aku lihat ternyata Miuji. saat itu juga aku lega, “Rea mana?” Tanya Yui khawati, aku terdiam sejenak dan memasang ekspresi bersalah dan mereka tau maksud dari ekspresiku itu. Yui hendak berdiri namun dapat dihentikan Miuji, “Kita harus keluar sekarang dan meminta bantuan polisi.” katanya dengan serius. “Tapi Rea bisa mati.” katanya sambil menahan tangis, “Dia gadis yang kuat. Dia pasti selamat.” kata Miuji mencoba menghibur.

“Lihat.” kata miuji sambil mengarahkan pandangannya ke seorang pria besar yang sedang menelpon. “aku dan Riu akan menyerangnya dan mengambil ponselnya. Sementara kau Yui, jaga Akemi disini.” jelas Miuji. Akupun membuka ikatan tangan dan kaki Akemi dan membiarkan Yui menjaganya. Kami bersiap untuk menyergap pria itu, dari belekang Miuji menendang punggung pria itu hingga terjatuh dan aku menindih pria itu dan menginjak kedua tangannya, aku memukul muka pria itu secara bertubi-tubi hingga pingsan *adik”dirumah ga boleh meniru ini ya ^.^b* setelah berhasil merebut telephone, kami menghampiri Yui. Kembali aku mengendong Akemi, sementara Miuji mengandeng Yui sambil menelephone polisi. Dengan pelan-pelan kami bergerak keluar agar tidak ketahuan.


#Rea#

Setelah aku berhasil mengelak dari pria menyebalkan itu dengan menggoreskan pisau ke tangannya, aku membantu Miuji dan Yui untuk keluar. Serta membantu Riu dan Akemi untuk melarikan diri, setelah semua berhasil lolos,aku menutup pintu dan  beralih melihat seisi ruangan. Dengan cepat aku menemukan jendela yang tak terlalu besar namun cukup untuk ukuran badanku, sayangnya posisi jendela itu cukup tinggi dan tertutup.

“Apa yang kaau lihat?” kata pria menyebalkan itu, aku hanya terdiam tak menjawab pertanyaannya. “Kau berusaha untuk mencari jalan keluar? setelah luka yang kau tinggalkan?jangan harap bisa keluar hidup-hidup!” katanya marah dan berlari ke arahku dengan siap membunuh. Ia memukulku, dengan cepat aku menangkisnya, namun pria itu memukul bertubi-tubi seperti petinju sehingga membuatku kewalahan dan ia berhasil memukul muka dan perutku. Aku terkulai di lantai menahan sakit, aku berhasil bangun, namun pria itu sudah berada di depan mukaku, ia pun menendang perutku sampai membuatku membentur tembok. Dia benar-benar tak memberi ampun.

Terasa nyeri dibagian perut tak membuatku menyerah, aku berusah bangun dan pria itu hendak menghajarku namun dengan tenaga yang tersisa, aku tangkis dan menendangnya menjauh dariku. Aku berlari kearah kursi roda dan mengambilnya, akupun melemparnya kearah jendela sehingga membuat kaca jendela itu pecah. “jadi kau ingin kabur lewat sana? Tak akan ku biarkan?” kata pria itu menarikku jauh dari jendela dan melemparku kelantai. Pria itu mengambil sesuatu dari balik celananya, ternyata itu pistol.

“Sebenarnya, aku tak ingin memakai ini. Namun kau yang memaksaku Rea” katanya dengan ekskpresi haus darah, ia mengarakan pistolnya dan menarik pelatuknya. Syukurnya aku berhasil menghindar dan berdiri. “Tidak apa-apa kan jika dia mati seperti ini, tuan?” tanyanya pada ayah. “Lakukan sesukamu.” katanya tanpa ekskpresi. Ia menarik pelatuknya dan menembakkannya kearahku, sungguh beruntung aku bisa menghindarinya lagi, namun pipiku terluka akibat keserempet peluru. “Hampir saja.”kataku dalam hati. ”tak ada pilihan lain selain mengalahkannya dahulu.” lanjutku.

Aku berlari kearah kursi roda yang sudah rusak akibat kubanting tadi dan aku melemparnya  kearah pria itu, sehingga refleks pria itu menghindar. Kesempatan itu aku pakai dengan baik untuk merebut pistolnya, aku menendang tangannya dan membuat pistolnya terjatuh, sehingga membuatnya terkejut dan hendak menendangku namun aku dapat menangkap kakinya dan mendorongnya hingga terjatuh, akhirnnya akupun berhasil mengambil pistolnya. Dengan cepat aku mengarahkan pistol itu kearah pria itu, hingga dia tak berkutik. Aku menembaknya sekali dibagian lengan kirinya, iapun merasa kesakitan.

Aku pakai kesempatan ini untuk kabur, aku memasukkan pistolnya ke sakuku kemudian aku mundur sedikit dan melompat setinggi mungkin dan happp… tanganku dapat memegang bagian bawah jendela, dengan cepat aku memanjat ke atas dan berhasil. Doorrr…belum sempat mengambil ancang-ancang, sebuah peluru terasa menancap di kaki kananku sehingga membuatku jatuh keluar tanpa arah. Dengan berusaha keras aku memegang pegangan dinding rumah, namun tanganku tak kuat dan aku terjatuh kembali. Tepat sebelum jatuh, aku jatuh di atas pohon besar hingga membuatku punggungku terbentur kayu pohon. Dengan cepat aku menggunakan tangkai pohon menyangga tubuhku agar tak terjatuh dengan keras. Aku menggelantung dengan kedua tanganku, namun karena tenaga telah habis, akhirnya aku terjatuh ke tanah dengan posisi tertelungkup. Saat itu aku sangat lelah, saking banyaknya luka ditubuhku aku tak dapat merasakannya, hingga aku biarkan aku terkulai di atas tanah dan menutup mataku.


#Riu#

Dengan pelan-pelan namun pasti kami dapat melewati rintangan, walau terkadang terpaksa melawan pria bertubuh besar itu. Saat dekat dengan pintu keluar kami mendengar suara tembakan berkali-kali, sehingga membuat kami sangat khawatir pada Rea. Tak hanya sekali namun berkali-kali dan setelah itu terdengar suara kaca pecah, kami mempercepat langkah kami sampai keluar pintu gerbang.

Dan ternyata sudah ada 2 pria yang menunggu kami disana. Dengan penuh perasaan aku menurunkan Akemi dan bersiap menghajar kedua pria itu. Aku dan Miuji maju menghajar pria-pria itu habis-habisan. Entah jurus apa yang kami gunakan, yang penting pria itu kalah. Namun tak semudah itu, pria itu dapat melawan kami, kalau begini harus rencana B.

“Hei, itu seperti sirine polisi bukan?” kataku tiba-tiba sambil berlagak mendengar sesuatu, “Tunggu sebentar, coba aku dengar?” kata Miuji sambil memejamkan matanya mengikuti permainanku, “Oh iya, itu suara sirine polisi.” katanya dengan meyakinkan. “Akhirnya mereka datang juga.” Kataku pura-pura senang, “Jangan bermain-main, kami tak mendengarkan apapun.” kata salah satu pria namun dengan ekskpresi sedikit percaya. Tak lama kemudian…nuiinnggg…nuuuiiinnngg….nuuuiinngg… terdengar sirine polisi, kami benar-benar beruntung. Awalnya hanya berbohong, ternyata itu benar terjadi. Suara sirine itu membuat kedua pria itu panik dan kami menggunakan kesempatan itu untuk menghajar mereka. Dan dengan kerja sama yang baik, kamipun berhasil melumpuhkan mereka.

“Bawa mereka ketempat aman, aku akan memastikan keadaan Rea” kataku pada Miuji, ia tak melawanku dan membawa Yui dan Akemi pergi dari tempat itu. Tiba-tiba terdengar suara pistol sekali lagi dan suara benda terjatuh, aku rasa sepertinya itu dari ruangan saat kami disekap tadi. Akupun berlari kearah ruangan itu yang terletak di samping rumah dan akupun melihat Rea sudah tergeletak tak berdaya. Dengan cepat aku menghampirinya dan berusaha membangunkannnya.

“Rea…Rea…bangunlah…hei…bangunlah” teriakku sambil sedikit menggoyang-goyangkan tubuhnya dan akhirnya ia membuka matanya, walau sedikit namun aku sedikit lega dia masih hidup. Ia tersenyum tipis lalu memejamkan matanya lagi, aku mengambil posisi untuk mengendongnya. Tak disangka, dihadapan kami sudah ada pria menyebalkan dengan mengarahkan pistol ke arah kami. Sedikit terkejut, namun tak ku perlihatkan padanya, aku mengambil posisi melindungi tubuh Rea. “Kalau ingin membunuhnya cepat, waktu kita tak banyak.” kata orang tua sialan itu. Aku tak percaya dia seorang ayah.

Pria itu hendak menarik pelatuknya dan doorrr….aku memejamkan mataku, namun aku tak merasakan sakit. Saat aku membuka mataku, aku terkejut pria itu jatuh ke tanah dengan memegang kaki sebelah kirinya. Ternyata sebelum pria itu menembakku, Rea sudah menembak pria itu duluan. Sirine polisi semakin keras, itu menandakan bahwa mereka sudah dekat. “Tak ada waktu lagi. Kita harus pergi. Papah dia!” perintah orang tua itu pada  2 pria besar disampingnya untuk membantu pria menyebalkan itu bangun. “Lepaskan aku. Aku akan membunuh gadis itu.” katanya menolak untuk dipapah, ia hendak mengambil pistol yang terjatuh  namun orang tua itu bersuara keras “Kau ambil pistol itu, maka akan ku tinggal kau disini.” ancamya pada pria menyebalkan itu, dengan terpaksa dia mengikuti perintah.  Sebelum pergi, pria menyebalkan itu berkata  “Jika kita bertemu lagi, maka saat itu pula hidup kalian akan berakhir.” ancamnya dan mereka pun pergi meninggalkan kami.

~to be continue~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar