Karena
kemampuan serta didukung ceritaku itu, aku bisa masuk fakultas hukum Airlangga.
Saat ini, aku semester 3, walau belum
semester tua, aku sudah memikirkan mengenai judul skripsiku. “Bagusnya apa ya?”
tanyaku dalam hati sambil berjalan di koridor kampus. Tak sengaja aku melihat Pak
Bambang kesusahan membawa buku yang banyak dan cukup tebal, akupun
menghampirinya. “Pagi pak…pagi-pagi udah sibuk nih. Biar saya bantu pak” kataku
memberi salam, kemudian mengambil 3 buku yang cukup tebal. “Buat apa semua buku
ini pak?” tanyaku penasaran. “Teman bapak sedang menangani kasus yang cukup
rumit, jadi bapak membantunya.” jelasnya dengan ramah. “ Memangnya kasus apaan
pak?mungkin saya bisa bantu…” Tanyaku lagi. “Bukannya ngebantu, kamu mungkin
malah ngerusuh. Pikirkan saja sekolahmu.” katanya meledek. “Bapak lupa? bapak
yang bilang saya punya potensi yang bagus? trus saya akan menjadi hakim yang
sukses” kataku cemberut. “haha…kau ini ngambekan. Mana ada hakim ngambekan?
Sepertinya bapak harus tarik omongan bapak yang itu” katanya, membuatku
terkejut. “yahh…jangan dong pak. Janji deh nggak ngambek lagi.”kataku memohon.
“ia..ia… masalah ini begitu rumit. Tentang pembunuhan gitu…” jelasnya kemudian.
Hari
ini aku sudah ga ada kelas, aku memilih untuk pergi ke perpustakaan untuk
membaca buku. “Aku perhatikan dan mencari dengan teliti setiap buku yang
berjejer rapi di rak buku. “Bagaimana perkembangan kasusmu, Han?” kata
seseorang yang terlihat sedang menelepon dari balik rak buku didepanku, akupun
mengintipnya, ternyata Pak Bambang. “Aku mengerti, kalau begitu aku akan
kerumahmu nanti sore” katanya lagi dan menutup telepon. “saya ikut ya Pak” kataku
tiba-tiba muncul dari arah kanan Pak Bambang, sehingga membuat laki-laki tua
itu terkejut. Sesampainya dirumah teman Pak Bambang, kami dipersilahkan masuk
oleh seorang wanita yang cukup muda,“Silahkan masuk tuan” katanya ramah.
Kamipun duduk di sofa ruang tamu dan orang yang kami tunggu itupun datang menghampiri kami, “Dia siapa Bang?” tanyanya
kemudian, “Bang? ‘Bang’ dari’ Bambang’ kah?hahaha.. Lucu juga” kataku dalam
hati sambil menahan tawa. “Anak buah” jawab Pak Bambang singkat, ”Perkenalkan
nama saya Klara Alisia” kataku memperkenalkan diri, “Saya Handoyo Basuki” kata
pria itu kemudian. ”Bapak seorang detective ya?” tanyaku kemudian dengan
semangat, “hushhh, kau ini berisik sekali…jadi gimana, Han?”Tanya pak Bambang lalu
menyuruhku untuk tenang.
Iapun
duduk didepan kami, “Tidak ada bukti kuat, untuk menuntut pelaku. Tapi aku yakin
kalau orang itu bersalah.” jelas Pak Handoyo dengan setengah berpikir. “Bagaimana
kau bisa yakin, Han?” tanya Pak Bambang, “Aku mengenal orang yang kenal dengan
si pelaku. Ia mengatakan bahwa si pelaku jarang bersosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya, sekalipun keluar itu untuk belanja keperluan
sehari-hari. Sayangnya dia memiliki alibi yang cukup kuat pada waktu
pembunuhan.” jelas Pak Handoyo. “Apa alibinya?” Tanya Pak Bambang kembali. “Ia
menghadiri pertemuan bersama teman-teman kuliahnya di sebuah kafe di Solo” jawabnya. “Aneh sekali. Orang yang susah untuk
bersosialisasi, tapi datang ke sebuah pertemuan yang identik dengan keramaian.”
kataku keceplosan. Mereka menoleh kerahku dan memandang heran, “Maaf pak,
keceplosan. Hehehe…” kataku cengengesan. “Sebenarnya, itu juga yang aku
pikirkan” kata Pak Handoyo. “Mungkin dia menyuruh orang lain untuk melakukannya?”
kataku lagi. “Bagaimana kalau sekarang kita bertemu dengan keluarga korban? ”saran
Pak Bambang.
Saat
dirumah keluarga korban. “Bisakah ibu menceritakan saat sebelum alm. Pak Yanto
meninggal?” Tanya Pak Handoyo memulai perbincangan. “Sore harinya, suami saya
pamit untuk bertemu dengan seseorang di sebuah rumah makan padang dekat sini. Itulah
terakhir saya bertemu dengannya.” Kata wanita itu menahan tangis. “Ibu tidak
meneleponnya?” tanya Pak Bambang, “Sudah saya lakukan, tapi telponnya tidak aktif.”
jawabnya hingga wanita itu tak sanggup menahan air matanya. Kamipun pamit
pulang, “selanjutnya kita kemana, pak?” tanyaku, “Ke rumah makan padang.”jawab
Pak Handoyo dan Pak Bambang serentak. Sesampainya di sana, Pak Bambang dan Pak
Handoyo segera menanyakan pada pelayan rumah makan itu. “Permisi mbak, apa mbak
pernah melihat laki-laki ini?” tanya Pak Handoyo sambil memperlihatkan foto
alm. Pak Yanto. Terlihat wanita itu melihat dengan teliti sambil berpikir
keras. “Sekitar 5 hari yang lalu pria ini datang ke sini dan bertemu dengan
seseorang di rumah makan ini.” sambung Pak Bambang. “oh iya, saya ingat. Waktu
itu tidak sengaja saya menumpahkan es teh ke baju teman pria ini.” Jawab wanita
itu. “Apa mbak ingat orangnya?” tanya Pak Handoyo cepat. “Memangnya kalian
siapanya ya?” tanya pelayan rumah makan itu. “Saya saudara jauhnya dan ini
anaknya yang sudah lama berpisah dengannya” Kata Pak Bambang berbohong sambil
menunjukku. “Aku?”tanyaku dalam hati dengan tampang bingung. “ooo…. Kalau ga salah ciri-cirinya tubuhnya
tinggi, sedikit bungkuk, putih dan rambutnya cukup pendek.” jelas wanita itu.
“Apa tante tau informasi yang lainnya?” tanyaku mendahului bapak-bapak tua itu.
“Tante? Saya masih umur 20 tahun tau…”katanya ngambek, “ Hehe…maap deh tante,
eh maksudnya kakak…”kataku cengengesan. “Saat itu, saya menawarkan untuk
mencuci pakaiannya, lalu dia memberi saya sebuah kartu nama.” jawabnya, “Bisa
saya lihat?” pinta Pak Handoyo. Wanita itu pergi ke dalam dan beberapa menit
kemudian ia kembali sambil membawa sebuah kartu nama di tangan kanannya. “Namanya
Syafudin Juyadi dan sepertinya dia bekerja di Hotel Mentari. Ayo kita kesana.”
kata Pak Handoyo memberi intruksi. Setelah berpamit dan berterimakasi pada
pelayan rumah makan itu, kamipun pergi ke tempat selanjutnya.
Kami
berjalan menuju tempat resepsionis dengan Pak Handoyo dan Pak Bambang berjalan
di depanku. Sementara mereka bertanya-tanya, aku memperhatikan sekeliling dan
aku terkejut menemukan sesosok yang aku kenal. Orang yang telah menfitnah
ayahku dan mengakibatkan ibuku meninggal. Aku memperhatikannya lekat-lekat,
tanpa sadar aku melangkah mendekati orang itu namun seseorang menahanku dari
belakang. “Kau mau kemana?” tanya Pak Bambang, aku tak menjawab pertanyaannya
dan masih menatap orang itu dengan tajam. “Kau lihat siapa?” tanya Pak Bambang
lagi. “Saat ini, orang yang memfitnah ayah saya dan membuat ibu saya meninggal
ada di depan saya pak…” kataku lemah. Didalam mobil, aku hanya diam dan tak
bicara seperti biasanya. “Kami sudah menemukan alamat rumahnya. Karena sudah
malam, kami sepakat untuk melanjutkannya besok. Besok kau tidak usah ikut,
tidak apa-apa kan?” tanya Pak Bambang padaku. Walau aku mendengar perkataannya,
aku tak ada tenaga untuk menjawab perkataanya, alhasil aku hanya mengangguk pelan.
Esok
harinya saat jam pelajaran, aku sama sekali tidak fokus, yang kufikirkan hanya
orang jahat itu. setelah selesai pelajaran, segera aku pergi ke tempat kerja
yaitu warung lalapan dekat kampus. Seperti biasa aku mengurusi bagian kasir dan
sekali lagi aku dibuat terkejut, orang jahat itu datang bersama 2 orang
temannya dan duduk tak jauh dari tempatku berada. Dia berbincang dan tertawa
seperti tak ada dosa, kemudian dia pergi keluar untuk menerima telepon. Segera
aku mengikutinya dan berusaha mendengar yang ia bicarakan. Aku bersembunyi di
balik pohon yang tak jauh dari posisinya berdiri, “Tenang saja, semuanya sudah
aku tangani. Dengan sedikit sentuhan uang dan kekuasaan, semuanya akan beres.”
katanya dengan ekspresi memuakkan. Mendengarnya membuatku emosi, ia
menyalahgunakan uang dan posisi untuk melukai seseorang. Itulah yang membuatku
muak. Setelah itu dia balik kedalam dan menikmati makanan, setelah beberapa
menit ia dan 2 orang temannya itu pergi meninggalkan tempat makan ini. Aku
memperhatikannya sampai ia masuk ke mobil sampai akhirnya menghilang.
Selesai
kerja aku menelepon Pak Bambang, “Gimana pak? Ada perkembangan?” tanyaku,
“Orang itu sudah pindah rumah.” jawabnya dari balik telepon. Jawaban itu
membuatku kecewa, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba
terlintas dalam pikiranku. “Hallo pak, apa tidak bisa kita melacaknya melalui
nomor telepon?” tanyaku, “Itu sedikit susah, karena melanggar privasi.”
Jawabnya. “Apa privasi lebih penting dari pada kebenaran?”tanyaku kembali.
Kamipun bertemu di pusat telekomunikasi, bertemu dan meminta ijin pada kepala
bidang. Berkat hasutan Pak Handoyo yang dasyat, kami bisa mendapat ijin.
Setelah mendapat informasi yang kami inginkan, kami kembali ke dalam mobil.
Sementara Pak Handoyo menyetir, Pak Bambang membaca informasi yang baru saja ia
dapatkan. “Dari bahasanya, sepertinya Yanto dan Syafudin ini baru saling kenal.
Lalu siapa ‘MR’ ? 3 hari terakhir, mereka selalu berbincang mengenai orang
ini.” kata Pak Bambang. Kembali dia membacanya, “ohh…jadi, dulu MR seorang
kepala pabrik di daerah Gunung Anyar,
kemudian ia pindah ke cabangnya satu lagi di daerah Dr. Sutomo.
Sepertinya dia ada hubungannya dengan kasus ini.” jelas Pak Bambang sambil
membaca informasi-informasi tersebut.
Mendengar
kepala pabrik di Gunung Anyar membuatku teringat akan orang jahat itu, “ ‘MR’
apa mungkin ‘Muhammad Ridwan’ “kataku dalam hati. “Pak, bisa kita ke kantor
polisi untuk mencari alamat lewat plat mobil?” tanyaku, “Ada apa? apa kau
menemukan sesuatu?” tanya Pak Handoyo kemudan. “Sepertinya, saya tau siapa ‘MR’
itu…” jawabku kemudian. Sesampainya disana, aku memberikan nomor plat mobil
yang kumaksud pada polisi yang menangani bagian tersebut. Dan akhirnya kami
menemukan titik terang “Mobil atas nama Syafudin Juyadi. Sepertinya dugaanmu
benar. Kau hebat Klara..” puji Pak Handoyo. Tanpa buang waktu kami pergi ke
alamat tersebut. Sesampainya di tempat tersebut kami memantau keadaan rumah
tersebut dari jarak yang tidak begitu jauh. 30 menit kami menunggu, sebuah
mobil yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria tinggi dan
sedikit bungkuk dengan mamakai topi keluar dari mobil membuka pintu gerbang. “Bukankah itu
Syafudin?” kata Pak Bambang sambil memastikannya dengan foto yang ia bawa. “sepertinya
begitu. Tapi ini sudah larut malam, kita pulang sekarang dan kita akhiri
semuanya besok.” kata Pak Handoyo kemudian dan kamipun pergi meninggalkan
tersebut.
Sesampainya
di kamar, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur, aku bangun kembali dan mengambil
sebuah kotak dari dalam lemari. Kotak yang berisi kenangan tentang ayah, mulai
dari foto, benda kesayangan maupun surat. Satu persatu aku mengeluarkan
barang-barang tersebut, sampai paling dasar kotak, aku melihat selembar amplop
terselip antara kain pelapis kotak dengan sisi kotak. Akupun membuka dan melihat beberapa lembar laporan keuangan
tempat ayahku pernah bekerja dulu. “Kenapa ini
bisa ada disini?” tanyaku dalam hati.
Keesokan
harinya aku pergi ke pabrik tersebut, tempat itu terlihat sama seperti terakhir
aku datang kesini. Aku menatapnya dalam-dalam dan mengenang saat aku melihat
ayah bekerja dengan giat. “Neng Klara? Adik, benar Neng Klara anaknya Pak
Basuki kan?” tanya seseorang tiba-tiba dari arah belakang, sehingga membuatku
sedikit terkejut. Aku memperhatikannya dengan seksama, “Pak Rizal?”kataku
pelan. Pak Rizal adalah teman akrab ayah saat bekerja dulu, saking akrabnya
mereka, semua pekerja mengenal mereka, dimana ada Pak rizal disanalah ada
ayahku. Saat ini kami duduk di bawah pohon rindang di samping pabrik “Sekarang Neng Klara sudah besar, udah ga
kayak dulu, bocah ingusan. Sudah lama Neng Klara tidak mampir kesini? Ada perlu
apaa neng?” tanya kemudian. “Pingin aja kesini pak..”jawabku. “Pasti kangen
sama saya ya neng…” katanya menggoda. “Bapak
bisa aja…oh ya,pabrik ini masih sama seperti yang dulu ya pak. Ga ada
tanda-tanda pernah kebakar.” Ungkapku. “Yahh…begitulah neng, 1 minggu setelah
kejadian. Kepala pabrik meminta agar gudang segera direnovasi untuk
menghilangkan hawa sial.” jelasnya.
“Saya
yakin bukan ayah yang melakukannya. Ini murni kecelakaan, bagaimana caranya
saya membersihkan nama ayah saya?” kataku lemah lalu menatap Pak Rizal. Saat
aku menatapnya, ia terlihat salah tingkah seperti menyebunyikan sesuatu. “Ada
apa pak?” tanyaku kemudian. “ahh?ah…tidak apa-apa kok neng. Oh iya bapak harus
segera lanjut bekerja. Neng Klara lebih baik pulang saja ya…”katanya seperti
ketakutan, segera ia mencoba pergi dari hadapanku. “Tunggu pak.” Kataku sambil
menarik baju Pak Rizal. “Apa bapak tau mengenai kematian ayah saya?” tanyaku
penuh harap.
Segera
aku pergi meninggalkan pabrik menuju rumah persembunyian orang jahat itu. saat
diperjalanan, terlintas dipikiranku mengenai perkataan Pak Rizal barusan.
“Maafkan bapak, neng. Seharusnya bapak memberitahukan ini sejak awal. Tapi
bapak terlalu takut untuk itu.” katanya sedikit gemetaran. “Ceritakan saja
pak…”kataku tak sabaran. “Ayah Neng Klara memang tidak bersalah. Dan juga itu
bukan kecelakaan, tapi itu semua sudah direncanakan oleh Pak Ridwan. Bawalah
ini,saya menyimpan rekaman perkataan Pak Ridwan mengenai kasus ini. Maafkan
saya neng…”katanya merasa bersalah sambil memberi sebuah recorder. Mengingatnya, rasa dendamku makin
besar terhadap orang jahat itu.
Sesampainya
di tempat yang dituju, aku berjalan di gang perumahan tempat orang jahat itu
bersembunyi. Tiba-tiba aku melihat orang jahat itu berlari kearahku dengan
ketakutan. Refleks aku menahannya, “Kau mau kemana?” kataku dingin. “Siapa kau?
beraninya bocah sepertimu menghalangiku. Pergi sana!” katanya membentak. “Kau
lupa padaku?” tanyaku kemudian. Ia menatapku bingung dan berusaha kabur dariku,
“Aku anak dari orang yang pernah bekerja denganmu, lalu kau membunuh dan
memfitnahnya.”kataku cukup keras, hingga membuat langkahnya terhenti, “Kau
ingat dengan nama Purwo Basuki? Dia ayahku, dia anak buahmu yang setia padamu,
tapi kau malah menghianatinya.” kataku dengan sinis. “kau?”tanyanya berusaha
mengingat. “Ayah selalu berkata betapa baiknya dirimu. Kau yang selalu bersikap
baik pada orang lain, tapi kenapa kau malah membunuh ayahku? Kenapa kau
membunuh orang yang tidak bersalah demi kepentingan dirimu sendiri?apa kau
pantas disebut manusia?” teriakku membentak padanya.
“Kau
berani-beraninya membentakku!” teriaknnya juga dan hendak memukulnya namun dari
belakang, seorang polisi memegang dan memborgol tangan orang jahat itu.
“Lepaskan aku. Kau tidak mempunyai bukti untuk menangkapku!” teriaknya. “Sudah
ada bukti yang cukup kuat untuk menjebloskanmu ke penjara, Pak Ridwan.” jelas Pak
Handoyo dari belakangku sambil membawa surat ijin penangkapan. “Dan tanda bukti
kau telah korupsi dan merencanakan pembunuhan terhadap ayahku.” kataku
tiba-tiba hingga membuat Pak Bambang dan Pak Handoyo terkejut. “Kau menemukan
barang buktinya?” tanya Pak Bambang. “Ini pak.” kataku sambil menyerahkan
sebuah recorder sekaligus sebuah amplop. “Kau hebat.” kata Pak Bambang sambil
memegang kepalaku. Aku hanya terdiam menahan tangis. ”Ayahmu pasti bangga
padamu, Klara…” lanjutnya. Aku mengangguk dan air matakupun jatuh tak
tertahankan lagi.
*1
minggu kemudian*
Aku duduk disamping makam ayah dan
ibuku yang berdempetan. “Ayah, Klara sudah membersihkan nama ayah yang sempat
tercemar dan orang jahat itu juga sudah menerima hukumannya di penjara. Klara hebat kan, yah?” kataku sambil
tersenyum lemah. “Ibu, Klara berjanji akan menjadi hakim yang bijak dan
memutuskan kasus dengan benar. Tanpa memandang siapa orangnya, Klara akan
mengungkap kebenarannya.” Kataku dengan semangat. “Ayah dan ibu tenanglah
disana. Klara akan hidup dengan baik disini dan juga jaga klara dari sana ya….”
Kataku untuk yang terakhir sambil mengelus-elus makam kedua orang tuaku dengan
lembut.
Keesokan
harinya di kampus, aku bertemu dengan Pak Bambang di perpustakaan sedang
membaca buku dengan seriusnya. “Siang pak...” sapaku, awalnya dia tidak
menoleh, tapi setelah aku duduk di depannya iapun menoleh ke arahku lalu
kembali membaca bukunya, “Ada apa?” tanyanya singkat. “Setelah saya
pikir-pikir, jadi detective seperti Pak Handoyo itu menyenangkan juga ya pak…”
kataku. “Kau masih menganggapnya sebagai seorang detective?” tanyanya kemudian.
“Maksud bapak?” tanyaku balik dengan kebingungan. “Dia itu detective gadungan.
Walau sedikit berbakat di bidang itu, tapi pekerjaan yang sebenarnya adalah seorang
hakim agung.” terang Pak Bambang yang
membuatku terkejut dan memasang muka blo’on.
TAMAT