Label

Rabu, 07 November 2012

Lingkaran Takdir

            “Kenapa kau ingin menjadi hakim?” Tanya seorang wanita separuh baya dengan tegas. “Saya ingin menegakkan hukum di negara ini. Semua orang tahu, hukum hanya memihak pada kalangan atas. Lalu bagaimana dengan kalangan bawah? Apa mereka tak berhak mendapat kebenaran? saya akan memberi mereka sebuah kebenaran, bukan janji tapi bukti.” jelasku tak kalah tegas. “Banyak sekali para calon mahasiswa maupun mahasiswi baru yang mengatakan hal yang sama denganmu. Lalu apa alasanmu yang bisa membuat kami percaya dengan perkataan mu?” Tanya seorang pria yang tampaknya lebih tua dari wanita tadi. “Ayah dan ibuku meninggal karena tidak adanya keadilan hukum di negara ini.” kataku menahan emosi. “Itu bermula 5 tahun yang lalu, ayah adalah seorang pekerja di sebuah pabrik makanan di daerah Gunung Anyar, Surabaya. Tak disangka pada hari itu, gudang pabrik itu terbakar, semua barang-barang di gudang itu hangus terbakar bersama dengan ayah saya. Walau ayah saya meninggal, kepala pabrik tetap menyalahkan ayah saya. Saat dipengadilan kami kalah dan harus membayar ganti rugi sebesar 100 juta, ibu menjual semua harta bendanya dan kami harus bekerja keras selama 5 tahun untuk melunasinya. Karena ibu terlalu bekerja dengan keras, ibu sakit dan akhirnya meninggal. Karena itu, saya berjanji pada diri saya sendiri untuk membalasnya dengan menjadi seorang hakim.” lanjutku.
Karena kemampuan serta didukung ceritaku itu, aku bisa masuk fakultas hukum Airlangga. Saat ini, aku  semester 3, walau belum semester tua, aku sudah memikirkan mengenai judul skripsiku. “Bagusnya apa ya?” tanyaku dalam hati sambil berjalan di koridor kampus. Tak sengaja aku melihat Pak Bambang kesusahan membawa buku yang banyak dan cukup tebal, akupun menghampirinya. “Pagi pak…pagi-pagi udah sibuk nih. Biar saya bantu pak” kataku memberi salam, kemudian mengambil 3 buku yang cukup tebal. “Buat apa semua buku ini pak?” tanyaku penasaran. “Teman bapak sedang menangani kasus yang cukup rumit, jadi bapak membantunya.” jelasnya dengan ramah. “ Memangnya kasus apaan pak?mungkin saya bisa bantu…” Tanyaku lagi. “Bukannya ngebantu, kamu mungkin malah ngerusuh. Pikirkan saja sekolahmu.” katanya meledek. “Bapak lupa? bapak yang bilang saya punya potensi yang bagus? trus saya akan menjadi hakim yang sukses” kataku cemberut. “haha…kau ini ngambekan. Mana ada hakim ngambekan? Sepertinya bapak harus tarik omongan bapak yang itu” katanya, membuatku terkejut. “yahh…jangan dong pak. Janji deh nggak ngambek lagi.”kataku memohon. “ia..ia… masalah ini begitu rumit. Tentang pembunuhan gitu…” jelasnya kemudian.
Hari ini aku sudah ga ada kelas, aku memilih untuk pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. “Aku perhatikan dan mencari dengan teliti setiap buku yang berjejer rapi di rak buku. “Bagaimana perkembangan kasusmu, Han?” kata seseorang yang terlihat sedang menelepon dari balik rak buku didepanku, akupun mengintipnya, ternyata Pak Bambang. “Aku mengerti, kalau begitu aku akan kerumahmu nanti sore” katanya lagi dan menutup telepon. “saya ikut ya Pak” kataku tiba-tiba muncul dari arah kanan Pak Bambang, sehingga membuat laki-laki tua itu terkejut. Sesampainya dirumah teman Pak Bambang, kami dipersilahkan masuk oleh seorang wanita yang cukup muda,“Silahkan masuk tuan” katanya ramah. Kamipun duduk di sofa ruang tamu dan orang yang kami tunggu itupun datang  menghampiri kami, “Dia siapa Bang?” tanyanya kemudian, “Bang? ‘Bang’ dari’ Bambang’ kah?hahaha.. Lucu juga” kataku dalam hati sambil menahan tawa. “Anak buah” jawab Pak Bambang singkat, ”Perkenalkan nama saya Klara Alisia” kataku memperkenalkan diri, “Saya Handoyo Basuki” kata pria itu kemudian. ”Bapak seorang detective ya?” tanyaku kemudian dengan semangat, “hushhh, kau ini berisik sekali…jadi gimana, Han?”Tanya pak Bambang lalu menyuruhku untuk tenang.
Iapun duduk didepan kami, “Tidak ada bukti kuat, untuk menuntut pelaku. Tapi aku yakin kalau orang itu bersalah.” jelas Pak Handoyo dengan setengah berpikir. “Bagaimana kau bisa yakin, Han?” tanya Pak Bambang, “Aku mengenal orang yang kenal dengan si pelaku. Ia mengatakan bahwa si pelaku jarang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, sekalipun keluar itu untuk belanja keperluan sehari-hari. Sayangnya dia memiliki alibi yang cukup kuat pada waktu pembunuhan.” jelas Pak Handoyo. “Apa alibinya?” Tanya Pak Bambang kembali. “Ia menghadiri pertemuan bersama teman-teman kuliahnya di sebuah kafe di Solo” jawabnya.  “Aneh sekali. Orang yang susah untuk bersosialisasi, tapi datang ke sebuah pertemuan yang identik dengan keramaian.” kataku keceplosan. Mereka menoleh kerahku dan memandang heran, “Maaf pak, keceplosan. Hehehe…” kataku cengengesan. “Sebenarnya, itu juga yang aku pikirkan” kata Pak Handoyo. “Mungkin dia menyuruh orang lain untuk melakukannya?” kataku lagi. “Bagaimana kalau sekarang kita bertemu dengan keluarga korban? ”saran Pak Bambang.
Saat dirumah keluarga korban. “Bisakah ibu menceritakan saat sebelum alm. Pak Yanto meninggal?” Tanya Pak Handoyo memulai perbincangan. “Sore harinya, suami saya pamit untuk bertemu dengan seseorang di sebuah rumah makan padang dekat sini. Itulah terakhir saya bertemu dengannya.” Kata wanita itu menahan tangis. “Ibu tidak meneleponnya?” tanya Pak Bambang, “Sudah saya lakukan, tapi telponnya tidak aktif.” jawabnya hingga wanita itu tak sanggup menahan air matanya. Kamipun pamit pulang, “selanjutnya kita kemana, pak?” tanyaku, “Ke rumah makan padang.”jawab Pak Handoyo dan Pak Bambang serentak. Sesampainya di sana, Pak Bambang dan Pak Handoyo segera menanyakan pada pelayan rumah makan itu. “Permisi mbak, apa mbak pernah melihat laki-laki ini?” tanya Pak Handoyo sambil memperlihatkan foto alm. Pak Yanto. Terlihat wanita itu melihat dengan teliti sambil berpikir keras. “Sekitar 5 hari yang lalu pria ini datang ke sini dan bertemu dengan seseorang di rumah makan ini.” sambung Pak Bambang. “oh iya, saya ingat. Waktu itu tidak sengaja saya menumpahkan es teh ke baju teman pria ini.” Jawab wanita itu. “Apa mbak ingat orangnya?” tanya Pak Handoyo cepat. “Memangnya kalian siapanya ya?” tanya pelayan rumah makan itu. “Saya saudara jauhnya dan ini anaknya yang sudah lama berpisah dengannya” Kata Pak Bambang berbohong sambil menunjukku. “Aku?”tanyaku dalam hati dengan tampang bingung.  “ooo…. Kalau ga salah ciri-cirinya tubuhnya tinggi, sedikit bungkuk, putih dan rambutnya cukup pendek.” jelas wanita itu. “Apa tante tau informasi yang lainnya?” tanyaku mendahului bapak-bapak tua itu. “Tante? Saya masih umur 20 tahun tau…”katanya ngambek, “ Hehe…maap deh tante, eh maksudnya kakak…”kataku cengengesan. “Saat itu, saya menawarkan untuk mencuci pakaiannya, lalu dia memberi saya sebuah kartu nama.” jawabnya, “Bisa saya lihat?” pinta Pak Handoyo. Wanita itu pergi ke dalam dan beberapa menit kemudian ia kembali sambil membawa sebuah kartu nama di tangan kanannya. “Namanya Syafudin Juyadi dan sepertinya dia bekerja di Hotel Mentari. Ayo kita kesana.” kata Pak Handoyo memberi intruksi. Setelah berpamit dan berterimakasi pada pelayan rumah makan itu, kamipun pergi ke tempat selanjutnya.
Kami berjalan menuju tempat resepsionis dengan Pak Handoyo dan Pak Bambang berjalan di depanku. Sementara mereka bertanya-tanya, aku memperhatikan sekeliling dan aku terkejut menemukan sesosok yang aku kenal. Orang yang telah menfitnah ayahku dan mengakibatkan ibuku meninggal. Aku memperhatikannya lekat-lekat, tanpa sadar aku melangkah mendekati orang itu namun seseorang menahanku dari belakang. “Kau mau kemana?” tanya Pak Bambang, aku tak menjawab pertanyaannya dan masih menatap orang itu dengan tajam. “Kau lihat siapa?” tanya Pak Bambang lagi. “Saat ini, orang yang memfitnah ayah saya dan membuat ibu saya meninggal ada di depan saya pak…” kataku lemah. Didalam mobil, aku hanya diam dan tak bicara seperti biasanya. “Kami sudah menemukan alamat rumahnya. Karena sudah malam, kami sepakat untuk melanjutkannya besok. Besok kau tidak usah ikut, tidak apa-apa kan?” tanya Pak Bambang padaku. Walau aku mendengar perkataannya, aku tak ada tenaga untuk menjawab perkataanya, alhasil aku hanya mengangguk pelan.
Esok harinya saat jam pelajaran, aku sama sekali tidak fokus, yang kufikirkan hanya orang jahat itu. setelah selesai pelajaran, segera aku pergi ke tempat kerja yaitu warung lalapan dekat kampus. Seperti biasa aku mengurusi bagian kasir dan sekali lagi aku dibuat terkejut, orang jahat itu datang bersama 2 orang temannya dan duduk tak jauh dari tempatku berada. Dia berbincang dan tertawa seperti tak ada dosa, kemudian dia pergi keluar untuk menerima telepon. Segera aku mengikutinya dan berusaha mendengar yang ia bicarakan. Aku bersembunyi di balik pohon yang tak jauh dari posisinya berdiri, “Tenang saja, semuanya sudah aku tangani. Dengan sedikit sentuhan uang dan kekuasaan, semuanya akan beres.” katanya dengan ekspresi memuakkan. Mendengarnya membuatku emosi, ia menyalahgunakan uang dan posisi untuk melukai seseorang. Itulah yang membuatku muak. Setelah itu dia balik kedalam dan menikmati makanan, setelah beberapa menit ia dan 2 orang temannya itu pergi meninggalkan tempat makan ini. Aku memperhatikannya sampai ia masuk ke mobil sampai akhirnya menghilang.
Selesai kerja aku menelepon Pak Bambang, “Gimana pak? Ada perkembangan?” tanyaku, “Orang itu sudah pindah rumah.” jawabnya dari balik telepon. Jawaban itu membuatku kecewa, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. “Hallo pak, apa tidak bisa kita melacaknya melalui nomor telepon?” tanyaku, “Itu sedikit susah, karena melanggar privasi.” Jawabnya. “Apa privasi lebih penting dari pada kebenaran?”tanyaku kembali. Kamipun bertemu di pusat telekomunikasi, bertemu dan meminta ijin pada kepala bidang. Berkat hasutan Pak Handoyo yang dasyat, kami bisa mendapat ijin. Setelah mendapat informasi yang kami inginkan, kami kembali ke dalam mobil. Sementara Pak Handoyo menyetir, Pak Bambang membaca informasi yang baru saja ia dapatkan. “Dari bahasanya, sepertinya Yanto dan Syafudin ini baru saling kenal. Lalu siapa ‘MR’ ? 3 hari terakhir, mereka selalu berbincang mengenai orang ini.” kata Pak Bambang. Kembali dia membacanya, “ohh…jadi, dulu MR seorang kepala pabrik di daerah  Gunung Anyar, kemudian ia pindah ke cabangnya satu lagi di daerah Dr. Sutomo. Sepertinya dia ada hubungannya dengan kasus ini.” jelas Pak Bambang sambil membaca informasi-informasi tersebut.
Mendengar kepala pabrik di Gunung Anyar membuatku teringat akan orang jahat itu, “ ‘MR’ apa mungkin ‘Muhammad Ridwan’ “kataku dalam hati. “Pak, bisa kita ke kantor polisi untuk mencari alamat lewat plat mobil?” tanyaku, “Ada apa? apa kau menemukan sesuatu?” tanya Pak Handoyo kemudan. “Sepertinya, saya tau siapa ‘MR’ itu…” jawabku kemudian. Sesampainya disana, aku memberikan nomor plat mobil yang kumaksud pada polisi yang menangani bagian tersebut. Dan akhirnya kami menemukan titik terang “Mobil atas nama Syafudin Juyadi. Sepertinya dugaanmu benar. Kau hebat Klara..” puji Pak Handoyo. Tanpa buang waktu kami pergi ke alamat tersebut. Sesampainya di tempat tersebut kami memantau keadaan rumah tersebut dari jarak yang tidak begitu jauh. 30 menit kami menunggu, sebuah mobil yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria tinggi dan sedikit bungkuk dengan mamakai topi keluar dari mobil  membuka pintu gerbang. “Bukankah itu Syafudin?” kata Pak Bambang sambil memastikannya dengan foto yang ia bawa. “sepertinya begitu. Tapi ini sudah larut malam, kita pulang sekarang dan kita akhiri semuanya besok.” kata Pak Handoyo kemudian dan kamipun pergi meninggalkan tersebut.
Sesampainya di kamar, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur, aku bangun kembali dan mengambil sebuah kotak dari dalam lemari. Kotak yang berisi kenangan tentang ayah, mulai dari foto, benda kesayangan maupun surat. Satu persatu aku mengeluarkan barang-barang tersebut, sampai paling dasar kotak, aku melihat selembar amplop terselip antara kain pelapis kotak dengan sisi kotak. Akupun membuka dan  melihat beberapa lembar laporan keuangan tempat ayahku pernah bekerja dulu. “Kenapa ini  bisa ada disini?” tanyaku dalam hati.
Keesokan harinya aku pergi ke pabrik tersebut, tempat itu terlihat sama seperti terakhir aku datang kesini. Aku menatapnya dalam-dalam dan mengenang saat aku melihat ayah bekerja dengan giat. “Neng Klara? Adik, benar Neng Klara anaknya Pak Basuki kan?” tanya seseorang tiba-tiba dari arah belakang, sehingga membuatku sedikit terkejut. Aku memperhatikannya dengan seksama, “Pak Rizal?”kataku pelan. Pak Rizal adalah teman akrab ayah saat bekerja dulu, saking akrabnya mereka, semua pekerja mengenal mereka, dimana ada Pak rizal disanalah ada ayahku. Saat ini kami duduk di bawah pohon rindang di samping pabrik  “Sekarang Neng Klara sudah besar, udah ga kayak dulu, bocah ingusan. Sudah lama Neng Klara tidak mampir kesini? Ada perlu apaa neng?” tanya kemudian. “Pingin aja kesini pak..”jawabku. “Pasti kangen sama saya ya neng…” katanya menggoda.  “Bapak bisa aja…oh ya,pabrik ini masih sama seperti yang dulu ya pak. Ga ada tanda-tanda pernah kebakar.” Ungkapku. “Yahh…begitulah neng, 1 minggu setelah kejadian. Kepala pabrik meminta agar gudang segera direnovasi untuk menghilangkan hawa sial.” jelasnya.
“Saya yakin bukan ayah yang melakukannya. Ini murni kecelakaan, bagaimana caranya saya membersihkan nama ayah saya?” kataku lemah lalu menatap Pak Rizal. Saat aku menatapnya, ia terlihat salah tingkah seperti menyebunyikan sesuatu. “Ada apa pak?” tanyaku kemudian. “ahh?ah…tidak apa-apa kok neng. Oh iya bapak harus segera lanjut bekerja. Neng Klara lebih baik pulang saja ya…”katanya seperti ketakutan, segera ia mencoba pergi dari hadapanku. “Tunggu pak.” Kataku sambil menarik baju Pak Rizal. “Apa bapak tau mengenai kematian ayah saya?” tanyaku penuh harap.
Segera aku pergi meninggalkan pabrik menuju rumah persembunyian orang jahat itu. saat diperjalanan, terlintas dipikiranku mengenai perkataan Pak Rizal barusan. “Maafkan bapak, neng. Seharusnya bapak memberitahukan ini sejak awal. Tapi bapak terlalu takut untuk itu.” katanya sedikit gemetaran. “Ceritakan saja pak…”kataku tak sabaran. “Ayah Neng Klara memang tidak bersalah. Dan juga itu bukan kecelakaan, tapi itu semua sudah direncanakan oleh Pak Ridwan. Bawalah ini,saya menyimpan rekaman perkataan Pak Ridwan mengenai kasus ini. Maafkan saya neng…”katanya merasa bersalah sambil memberi sebuah recorder. Mengingatnya, rasa dendamku makin besar terhadap orang jahat itu.
Sesampainya di tempat yang dituju, aku berjalan di gang perumahan tempat orang jahat itu bersembunyi. Tiba-tiba aku melihat orang jahat itu berlari kearahku dengan ketakutan. Refleks aku menahannya, “Kau mau kemana?” kataku dingin. “Siapa kau? beraninya bocah sepertimu menghalangiku. Pergi sana!” katanya membentak. “Kau lupa padaku?” tanyaku kemudian. Ia menatapku bingung dan berusaha kabur dariku, “Aku anak dari orang yang pernah bekerja denganmu, lalu kau membunuh dan memfitnahnya.”kataku cukup keras, hingga membuat langkahnya terhenti, “Kau ingat dengan nama Purwo Basuki? Dia ayahku, dia anak buahmu yang setia padamu, tapi kau malah menghianatinya.” kataku dengan sinis. “kau?”tanyanya berusaha mengingat. “Ayah selalu berkata betapa baiknya dirimu. Kau yang selalu bersikap baik pada orang lain, tapi kenapa kau malah membunuh ayahku? Kenapa kau membunuh orang yang tidak bersalah demi kepentingan dirimu sendiri?apa kau pantas disebut manusia?” teriakku membentak padanya.
“Kau berani-beraninya membentakku!” teriaknnya juga dan hendak memukulnya namun dari belakang, seorang polisi memegang dan memborgol tangan orang jahat itu. “Lepaskan aku. Kau tidak mempunyai bukti untuk menangkapku!” teriaknya. “Sudah ada bukti yang cukup kuat untuk menjebloskanmu ke penjara, Pak Ridwan.” jelas Pak Handoyo dari belakangku sambil membawa surat ijin penangkapan. “Dan tanda bukti kau telah korupsi dan merencanakan pembunuhan terhadap ayahku.” kataku tiba-tiba hingga membuat Pak Bambang dan Pak Handoyo terkejut. “Kau menemukan barang buktinya?” tanya Pak Bambang. “Ini pak.” kataku sambil menyerahkan sebuah recorder sekaligus sebuah amplop. “Kau hebat.” kata Pak Bambang sambil memegang kepalaku. Aku hanya terdiam menahan tangis. ”Ayahmu pasti bangga padamu, Klara…” lanjutnya. Aku mengangguk dan air matakupun jatuh tak tertahankan lagi.

*1 minggu kemudian*
           
            Aku duduk disamping makam ayah dan ibuku yang berdempetan. “Ayah, Klara sudah membersihkan nama ayah yang sempat tercemar dan orang jahat itu juga sudah menerima hukumannya di penjara.  Klara hebat kan, yah?” kataku sambil tersenyum lemah. “Ibu, Klara berjanji akan menjadi hakim yang bijak dan memutuskan kasus dengan benar. Tanpa memandang siapa orangnya, Klara akan mengungkap kebenarannya.” Kataku dengan semangat. “Ayah dan ibu tenanglah disana. Klara akan hidup dengan baik disini dan juga jaga klara dari sana ya….” Kataku untuk yang terakhir sambil mengelus-elus makam kedua orang tuaku dengan lembut.
Keesokan harinya di kampus, aku bertemu dengan Pak Bambang di perpustakaan sedang membaca buku dengan seriusnya. “Siang pak...” sapaku, awalnya dia tidak menoleh, tapi setelah aku duduk di depannya iapun menoleh ke arahku lalu kembali membaca bukunya, “Ada apa?” tanyanya singkat. “Setelah saya pikir-pikir, jadi detective seperti Pak Handoyo itu menyenangkan juga ya pak…” kataku. “Kau masih menganggapnya sebagai seorang detective?” tanyanya kemudian. “Maksud bapak?” tanyaku balik dengan kebingungan. “Dia itu detective gadungan. Walau sedikit berbakat di bidang itu, tapi pekerjaan yang sebenarnya adalah seorang hakim agung.” terang Pak Bambang  yang membuatku terkejut dan memasang muka blo’on.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar